Wednesday 7 November 2012

Pemikiran M.A. Mannan


Pemikiran M.A. Mannan Tentang Ekonomi Islam
Oleh : Darwin, S.Pd.


BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tokoh pemikir ekonomi Islam modern adalah M.A. Mannan, pemikirannya telah diakui secara internasional, tidak hanya kalangan ummat Islam, tapi pemikirannya juga banyak memberi inspirasi bagi para ekonom non-muslim di seluruh dunia untuk mulai mengakui dan dan mengapresiasi sistem ekonomi Islam. Pemikiran cemerlangnya telah menginspirasi banyak orang tentang keberadaan ekonomi Islam. Mannan lahir di Pakistan, besar dan menempuh pendidikan utamanya dinegara tersebut, kemudian ia menempuh pendidikan tingkat Master dan Doktoral nya di Amerika, tetapi pendidikannya dinegara sekuler tersebut tidak merobah pendangannya terhadap ekonomi Islam, justru ilmu yang ia peroleh disana dijadikan sebagai modal untuk menggali kelemahan yang terdapat dalam ekonomi konvensional dan menawarkan solusi terbaik melalui prinsip Islam. Puncaknya keilmuan beliau diakui secara internasional dengan meraih profesor riset dibidang ekonomi Islam dari Islamic Development Bank Jeddah.
Begitu banyak pemikiran beliau mengenai ekonomi Islam terutama yang berkaitan dengan persoalan ekonomi kontemporer saat ini. Pada makalah yang singkat ini, penulis mencoba memaparkan beberapa pemikiran cemerlangnya, namun karena keterbatasan literatur dan sumber penulis hanya mampu memaparkan beberapa pokok pikiran beliau. Penulis yakin, pemikiran tokoh penting ini sangat banyak dan selalu berkembang seiring berkembangnya masalah-masalah yang muncul dalam sistem perekonomian modern saat ini. Untuk itu penulis berharap dapat mempelajari lebih jauh tentang pemikiran ekonomi M.A. Mannan dimasa mendatang.
Makalah ini penulis susun dengan mengawalinya dari biografi singkat beliau, kemudian ide beliau tentang ekonomi Islam serta metode dan tahapan yang beliau tawarkan dalam rangka pengembangan eknomi islam. Selanjutnya beberapa pokok pikiran beliau mengenai ekonomi. Penulis sadar ada banyak kekurangan disana sini, walaupun demikian penulis berharap makalah ini dapat memberi sedikit inspirasi bagi kita semua untuk lebih konsisten dalam pengembangan ekonomi Islam dimasa mendatang.
BAB II
PEMIKIRAN EKONOMI ABDUL MANNAN
A. Riwayat Hidup Abdul Mannan[1]
Abdul Manan dilahirkan di di Bangladesh pada tahun 1938, ia memperoleh gelar masternya di bidang ekonomi dari Universitas Rajshani pada tahun 1960, setelah menyelesaikan kuliahnya ia lalu bekerja untuk pemerintah Pakistan dan ditempatkan di berbagai departemen terutama yang berkaitan dengan sektor ekonomi. Pada tahun 1970 ia juga memperoleh gelar master untuk yang kedua di bidang ekonomi dari Universitas Michingan AS, tiga tahun kemudian 1973 Manan juga memeperoleh gelar Doktor di bidang ekonomi dari Universitas yang sama dalam berbagai bidang ekonomi, seperti ekonomi pendidikan, ekonomi pembangunan, hubungan industri dan keuangan.
Setelah memperoleh gelar doktor, ia sempat mengajar di Papua New Gini, dan pada tahun 1978 ia diangkat menjadi profesor (guru besar) di Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah (sekarang bernama Centre for Research in Islamic economics / Pusat Riset Ekonomi Islam)
Mannan termasuk salah satu pemikir ekonomi Islam kontemporer yang cukup menonjol. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkan, salah satu karya tulisnya adalah Islamic Economics: Theory and Practice yang terbit tahun 1970 dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Turki, Arab, Benggali, Malaisya, termasuk bahasa Indonesia. Dari kontribusinya dalam membangun ekonomi Islam ini, pada tahun 1974 Mannan memperoleh penghargaan akademik tertinggi dibidang ekonomi dari pemerintahan Pakistan.
Buku Islamic Economics: Theory and Practice dijadikan Mannan sebagai persembahan terbaiknya demi kepentingan pendidikan di bidang ekonomi Islam saat itu, di saat dimana ekonomi islam ketika itu mulai menemukan momentum perkembangannya, dan buku ini merupakan buku tersukses saat itu dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi Islam, Sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada beberapa sumber hukum yaitu : Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’ Ijtihad atau Qiyas dan Prinsip hukum lainnya Mannan mengembangkan pemikiran mengenai Ekonomi islam didalam buku ini melalui prinsip-prinsip umum tentang ekonomi Islam, dan prinsip-prinsip yang telah ia tuangkan didalam buku ini di tawarkan kepada Negara-negara muslim yang saat itu mencari-cari solusi di bidang ekonomi yang mereka hadapi, sementara disisi lain belum satupun universitas yang memiliki kajian yang khusus tentang ekonomi Islam ini.
Setelah Mannan menebitkan buku kedua dan ktiganyanya yang berjudul : The Making of Islamic Economic Society dan The Frontiers of islamic Economics, tahun 1984, telah meningkatkan usaha-usaha mengembangkan pengetahuan mengenai ekonomi Islam, termasuk beberpa perguruan tinggi membuka kursus-kursus singkat dibidang kajian ekonomi Islam, dan tidak dapat dipungkiri bahwa Mannan adalah salah satu tokoh penting dalam perkembangan dibidang kajian ekonomi Islam kontemporer.
B. Pemikiran M.A. Mannan Mengenai Ekonom Islam[2]
Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang di ilhami oleh nilai-nilai islam. Namun bukan berarti bahwa hal ini menyebabkan kaum muslimin dilarang mempelajari masalah-masalah ekonomi non-muslim, sebaliknya mereka tetap dituntut mempelajari dan mengilhaminya dengan nilai-nilai islam, terutama yang berkaitan dengan kemanusiaan pada umumnya.Menurut nya Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang manusia (bukan individu yang terisolasi) tetapi mengenai individu sosial yang meyakini nilai-nalai hidup dalam Islam.
Mannan berpandangan bahwa masalah ekonomi yang fundamental muncul dari adanya kebutuhan dan kebutuhan itu tidak dapat dipenuhi kecuali dengan mengorbankan sumber daya energi manusia, kita dan peralatan material yang terbatas. Dalam hal ini menurut Mannan ekonomi islam sesuai dengan pandangan ekonomi modern, bedanya ada pada penentuan pilihan dalam skala prioritas, dimana dalam ekonomi modern pilihan tergantung pada bermacam-macam tingkah masing-masing individu tanpa memperhatikan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ekonomi Islam, manusia tidaklah pada kedudukan mendistribusikan sumber-sumber daya semau kita berdasarkan fungsi dasar ekonomi yaitu, produksi, distribusi dan konsumsi, tetapi ada suatu batasan moral yang serius berdasarkan ketetapan kitab suci Al-Quran terhadap tenaga individu dalam menjatuhkan pilihan nya, baik dalam berproduksi, konsumsi dan mendistribusikan hasil-hasil yang telah diperoleh. Ringkasnya ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religiusnya.
Menurut Mannan, disinilah letak ilmu ekonomi Islam lebih terbatas di banding ekonomi modern, terbatas karena hanya mengenai orang-orang yang mempunyai keyakinan kepada Allah dan ajaran-ajarannya, juga terbatas karena suatu negara islam belum mampu mendorong setiap individu untuk melakukan sistem ini. Namun persoalan pokok sesungguhnya adalah bahwa konsep kesejahteraan harus sesuai dan sejalan nilai-nilai universalisme islam, tanpa melihat tendensi golongan, karena prinsip universalisme islam akan tetap sahih sepanjang masa mendatang.
Selanjutnya sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan pada beberapa sumber hukum yaitu : Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’, Ijtihad atau Qiyas, Prinsip hukum lainnya. Dari sumber-sumber hukum Islam tersebut Mannan merumuskan langkah-langkah operasional untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yaitu :
1. Menentukan basic economic functions yang secara umum ada dalam semua sistem tanpa memperhatikan ideologi yang digunakan, seperti fungsi konsumsi, produksi dan distribusi
2. Menetapkan beberapa prinsip dasar yang mengatur basic economic functions yang berdasarkan pada syariah dan tanpa batas waktu (timeless), misal sikap moderation dalam berkonsumsi
3. Mengidentifikasi metode operasional berupa penyusunan konsep atau formulasi, karena pada tahap ini pengembangan teori dan disiplin ekonomi Islam mulai dibangun. Pada tahap ini mulai mendeskripsikan tentang apa (what), fungsi, perilaku, variabel dsb
4. Menentukan (prescribe) jumlah yang pasti akan kebutuhan barang dan jasa untuk mencapai tujuan (yaitu : moderation) pada tingkat individual atau aggregate.
5. Mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah keempat. Langkah ini dilakukan baik dengan pertukaran melalui mekanisme harga atau transfer payments.
6. Melakukan evaluasi atas tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau atas target bagaimana memaksimalkan kesejahteraan dalam seluruh kerangka yang ditetapkan pada langkah kedua maupun dalam dua pengertian pengembalian (return), yaitu pengembalian ekonomi dan non-ekonomi, membuat pertimbangan-pertimbangan positif dan normatif menjadi relatif tidak berbeda atau tidak penting.
7. Membandingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah dengan pencapaian yang diperoleh (perceived achievement). Pada tahap ini perlu melakukan review atas prinsip yang ditetapkan pada langkah kedua dan merekonstruksi konsep-konsep yang dilakukan pada tahap ketiga, keempat dan kelima.
Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Mannan cukup konkrit dan realistik. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat ekonomi Islam tidak ada dikhotomi antara aspek normatif dengan aspek positif. Secara jelas Mannan mengatakan : “ ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya (ought to be) penelitian ilmiah ekonomi modern (barat) biasanya membatasi diri pada masalah positif daripada normatif. Beberapa ekonom Muslim juga mencoba untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu positif dengan normatif, sehingga dengan cara demikian mereka membangun analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangka pemikiran barat. Sedangkan ekonom yang lain mengatakan secara sederhana bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu normatif. Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu ekonomi Islam saling terkait dan memisahkan kedua aspek ini akan menyesatkan dan menjadi counter productive.
Dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, maka langkah pertama adalah menentukan basic economic functions yang secara sederhana meliputi tiga fungsi yaitu konsumsi, produksi dan distribusi. Lima prinsip dasar yang berakar pada syariah untuk basic economic functions berupa fungsi konsumsi yakni prinsip righteousness (kedilan), cleanliness (kebersihan), moderation (kesederhanaan), beneficence (kemurahan hati) dan morality (Moralitas). Perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum kebutuhan manusia terdiri dari necessities,(kebutuhan) comforts(Kesenangan) dan luxuries.(kemewahan)
Pada setiap aktivitas ekonomi aspek konsumsi selalu berkaitan erat dengan aspek produksi. Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan menyatakan bahwa sistem produksi dalam negara (Islam) harus berpijak pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria obyektif dapat diukur dalam bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait erat dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan syariah Islam. Jadi dalam sistem ekonomi islam kesejahteraan tidak semata-mata ditentukan berdasarkan materi saja, tetapi juga harus berorientasi pada etika Islam. Aspek lain selain konsumsi dan produksi yang tidak kalah pentingnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan dan akan dijelaskan di bagian lain makalah in.
C. Pandangan Mannan Mengenai Konsumsi[3]
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penyediaan, kebutuhan konsumen merupkan insentif pokok dari kegiatan ekonomi mereka. Menurut Mannan perbedaan utama antara ekonomi islam dengan ekonomi moden dalam hal konsumsi terletak pada pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang, dalam islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dalam pola konsumsi modern. Menurutnya dalam islam kebutuhan itu sangat sederhana, namun peradaban modern telah mengahancurkan pola kebutuhan yang sangat sederhan, dan cenderung pada pengukuran kesejahteraan seseorang terletak pada bermacam-macam kebutuhan yang sanggup ia penuhi dan upayakan. Sudah saatnya menurut Mannan etika ekonomi islam menjadi satu filter bagi manusia modern agar dapat mengurangi pemenuhan kebutuhan secara berlebihan dan luar biasa.
Dalam pandangan Mannan, ada lima prinsip mengenai komsumsi yang harus diperhatikan oleh seorang muslim, prinsip-prinsip itu adalah :
1. Prinsip keadilan,
2. Prinsip kebersihan
3. Prinsip kesederhanaan
4. Prinsip kemurahan hati
5. Prinsip moralitas
Aturan pertama dan kedua mengenai konsumsi terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 168, 173, dan Al-Maidah ayat 4. [4] Aturan konsumsi yang ketiga terdapat dalam QS Al-A’raf 31, dan QS. Al-Maidah 87.[5] Prinsip keempat terdapat dalam QS. Suarah Al-Maidah ayat 96. Prisip kelima mengenai Moralitas terdapat pada QS. Al-Maidah ayat 91, 94 dan 219. Secara umum islam melarang mengkonsumsi sesuatu yang dapat merusak moralitas manusia, baik orang yang mengkonsumsi, orang lain dn lingkungan.
Disamping prinsip konsumsi, Mannan juga membicarakan mengenai skala prioritas dalam hal konsumsi, menurutnya skala prioritas dalam hal konsumsi adalah Keperluan, Kesenangan, Kemewahan. Menurutnya memakai barang-barang mewah tidaklah salah, hanya saja dilakukan dengan se efisien mungkin sehingga tidak melanggar aturan-aturan dan prinsip konsumsi. Karena menurut Mannan larangan-larangan yang ada dalam islam sesungguhnya tidaklah mengekang kehidupan muslim secara kaku, tetapi sebagai upaya untuk memperbaiki perilaku komsumen.
D. Pandangan M.A. Mannan Mengenai Produksi[6]
Mannan berpendapat prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah kesejahteraan ekonomi, konsep kesejahteraan ekonomi dalam islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang di akibatkan oleh meningkatnya produksi dari barang yang berfaedah melalui pemanfaatan sumberdaya yang ada secara maksimum, baik manusia maupun benda, selanjutnya diiringi dengan perbaikan sistem produksi, ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan maksimal dengan usaha minimal namun dalam hal konsumsi tetap berpedoman pada nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, dalam pandangan islam, meningkatnya produksi barang belum tentu menjamin kesejahteraan secara ekonomi, karena disamping peningkatan produksi juga harus memperhitungkan akibat yang ditimbulkan dari barang-barang yang di produksi, untuk itu islam telah melarang memproduksi barang-barang yang dilarang alam Islam seperti alkohol, karena peningkatan produski barang ini belum tentu meningkatkan kesejahteraan secara ekonomi. bedanya dengan sistem prosuksi dalam ekonomi konvensional, proses produksi dalam Islam harus tunduk kepada aturan Al-Quran dan Sunnah.
Sistem produksi di negara muslim menurut Mannan tidak hanya menaruh perhatian pada volume produksi, tetapi juga menjamin terlibatnya tenaga maksimum dalam proses produksi, dan ini menjadi sebuah kecaman dinegara kapitalis karena proses produksi hanya mellibatkan sejumlah pemilik modal saja, sehingga menghaabat proses distribusi pendapatan yang berujung pada kesenjangan ekonomi.
Disamping itu menurut Mannan, sistem produksi dalam sebuah negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria obyektif maupun subyektif. Kriteria subyektif diukur dengan kesejahteraan material, sedangkan kriteria obyektif harus tercermin dalam kesejahteraan dari segi etika ekonomi Islam yang didasarkan pada perinth-perintah kitab suci Al-Quran maupun Sunnah Nabi.
Seperti dalam ekonomi modern menurut Mannan sistem produksi dalam ekonomi islam juga dikenal adanya faktor produksi, faktor-faktor produksi dalam Islam adalah Tanah, Tenaga kerja, Modal, dan Organisasi. Tanah sebagai faktor produksi menurutnya harus dikelola sesuai dengan peraturan-peraturan syariah, baik Al-Quran dan Sunnah banyak menekankan pembudidayaan yang efisienn dan penggarapan yang baik, pemborosan pemakaian tanah dalam islam dikutuk termasuk pelarangan terhadap perusakan lingkungan, untuk itu dalam islam, negara berhak membuat peraturan yang tegas mengenai pengelolaan tanah sebagai faktor produksi agar di gunakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai pertumbuhan berimbang bagi kepentingan masyarakat, Nabi mengingatkan pengikutnya arti penting pembudidayaan tanah, dan membuat suatu ketentuan bahwa seorang hanya boleh memiliki tanah sebanyak yang dapat ia garap sendiri, dan menurut Mannan telah banyak ulama mutaqaddimin yang membahasnya.
Dalam masalah tenaga kerja Mannan berpendapat bahwa tenaga kerja sangat terkait dengan moralitas, ia menentang pandangan ekonomi modern yang menganggap bahwa tenaga kerja adalah Asset, dimana para pemilik tenaga kerja bebas berbuat dengan sesuka hatinya, dalam Islam tenaga kerja di pandang tidak hanya dari segi ukuran ekonomi dan keuangan saja, tetapi mereka adalah orang yang membutuhkan penghasilan demi kelanjutan kehidupan dan menjalankan fungsi hidup mereka, termasuk didalamnya keluarga mereka, oleh karena itu dalam islam penggunaan tenaga kerja tidak dibenarkan jika tujuannya hanya eksploitasi dari segi ekonomi saja, disinilah Islam memandang manusia tidak hanya dari segi ekonomi saja tetap dari segi manusia secara Religi yakni hamba Allah. Untuk itu istilah tenaga kerja (buruh) dalam Islam digunakan dalam arti yang luas namun tetap terbatas, luas berarti penggunaan jasa buruh secara maksimal diluar batas-batas nilai keuangan, terbatas berarti seorang pekerja tidak secara mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.
Mengenai tenaga kerja ini Mannan juga membicarakan hubungan industrial dalam ekonomi, menurut Mannan Islam tidak mengakui penghisapan ataupun ekploitasi yang berlebihan terhadap para tenaga kerja, Islam juga tidak menyetujui dihapuskannya kelas kapitalis dan diadakannya masyarakat tanpa kelas dalam kerangka kerja sosial seperti dalam pandangan Karl Max. Dalam Islam diakui adanya perbedaan kemampuan dan bakat tiap-tiap orang yang mengakibatkan perbedaan pendapatan dan imbalan. (al-Quran Surah An-Nisa 33)[7] Islam tidak menyetujui persamaan tingkat yang sama sekali tidak berubah dalam pembagian kekayaan, karena hal ini dapat membatalkan maksud membentalkan maksud perbedaan yang sebenarnya. Tentu saja Islam mengakui adanya buruh dan majikan dalam masyarakat, dua prinsip dasar yang ditulis dalam hal ini, baik dalam Al-Quran maupun Hadits menyatakan bahwa, pelayan harus setia dan melakukan tugasnya dengan baik, sedangkan majikan harus membayar penuh untuk jasa yang diberikan oleh pelayannya tersebut. Pada kenyataannya Islam menjadikan hubungan yang berbahagia antara buruh dan majikan dengan memberikan nilai moral pada masalah itu, hal ini akan menjadi jelas jika kita menganlisa sebab-sebab pokok dari perselisihan industriak dan perintah Islam, pergolakan industri terutama karena faktor ekonomi dan psikologik. Dengan demikian menurut Mannan, jika sebab pertentangan industri modern maupun beberapa perintah islam dianalisis secara berdampingan, seseorang dapat dengan mudah mengatakan bahwa islam melindungi kepentingan buruh dan majikan dalam kerangka suatu organisme yang serba lengkap. Sesungguhnya dengan memberikan penilaian moral pada seluruh persoalan, islam telah menjalin persatuan antara buruh dan majikan. Diakatakan pula, sekali para pekerja dan majikan meresapi nilai islam, maka seluruh persoalan mengenai pemogokan dan penutupan tempat kerja relatif tidak perlu.
Faktor produksi selanjutnya adalah Modal, berkaitan dengan modal ekonomi islam mengharuskan terbebas dari bunga, dalam ekonomi Islam bunga tidak diperkenankan memainkan pengaruhnnya yang dapat merugikan pekerja, produksi dan distribusi. Dengan alasan inilah menurut Mannan, modal telah menduduki tempat yang khusus dalam ekonomi Islam, menurut Mannan modal adalah sarana produksi yang mengahasilkan, bukan sebagai faktor produksi utama seperti yang terdapat pada ekonomi modern.
Menurut Mannan, islam mengakui modal dan peranannya dalam proses produksi, islam juga mengakui bagian modal dihitung berdasarkan persentase laba yang berubah-ubah, bukan berdasarkan persentase tertentu dari modal itu sendiri. Dalam arti terbatas, teori islam mengenai modal tidak saja mengakui gagasan klasik tentang penghematan dan produktitas, tetapi juga gagasan Keynes tentang preferensi likuiditas, karena dalam islam, modal itu produktif, dalam arti bahwa tenaga kerja yang dibantu oleh modal akan lebih menghasilkan dari pada yang tanpa modal. Untuk itu menurut manan, laba yang diperbolehkan dalam islam adalah laba investasi dalam produksi yang merupakan proses yang memakan waktu. Motif laba akan mendorong seseorang melakukan investasi yang bersifat produktif.
Menurut Mannan teori islam mengenai modal lebih realitik, luas, dan etik dari pada teori modal ekonomi modern. Realisti karena produktivitas modal yang mengalami perubahan berkaitan dengan kenyataan produksi, yang dianggap mudah berubah dalam keadaan pertumbuhan yang dinamis. Luas berarti bahwa modal dalam islam memperhatikan semua variabel ekonomi. Etik berarti keikutsertaan modal dalam berbagai bidang disuatu negara harus bersifat adil dan wajar, juga harus bebas dari merugikan pelaku produksi lainnya, sehingga sinergi dari berbagai pelaku produksi meningkatkan kekayaan nasional. Karena itu dalam kerangka sosial islami, bungan yang ditetapkan kepada modal tidak diperbolehkan dampak merugikan ekonomi. Dengan kata lain islam yakin akan perekonomian yang bebas bunga.
Yang terakhir dari faktor produksi adalah oragnisasi, faktor ini menurut Mannan lebih kepada sifat-sifat motivasi kewirausahaan dalam kerangka Islam, kecenderungan memperoleh keuntungan seharusnya lebih diarahkan melalui kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan, dan hal ini memerlukan penggabungan modal manusia dengan sumber daya bukan manusia.
E. Pandangan M.A Mannan mengenai Distribusi Pendapatan[8]
Sejak dahulu hingga sekarang masih berlangsung kontroversi luas dan sengit tentang pokok persoalan distribusi pendapatan nasional antara berbagai golongan rakyat, hal ini disebabkan kesejahteraan ekonomi rakyat sangat tergantung pada cara distribusi seluruh pendapatan nasional. Dikemukakan bahwa teori distribusi hendaknya dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan nasional diantara berbagai kelas rakyat. Terutama ia harus mampu menjelaskan fenomena, bahwa sebagian kecil orang kaya raya, sebagian besar adalah orang miskin. Bahayanya, kalangan ahli ekonomi modern menganggap masalah distribusi bukan sebagai masalah distribusi perseorangan, melainkan sebagai masalah distribusi fungsional.
Mengenai dasar pemikiran distribusi pendapatan diantara berbagai faktor produksi Mannan menjelaskan, Pertama, pembayaran sewa, umumnya mengacu pada kebutuhan tanah akibat tingginya permintaan dan terbatasnya lahan. Kedua. Perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui oleh islam, syarat pokoknya adalah para majikan tidak boleh mengisap dan mengekploitasi para pekerja, majikan harus membayar upah mereka. Sebaliknya para pekerja juga harus melaksanakan tugas mereka dan dilarang keras melakukan eksploitisir melalui serikat-serikat buru Ketiga. Terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Menurut Mannan, tidak ada satu ahli ekonomi yang mampu menjawab dengan tegas mengapa bunga harus dibayarkan. Sementara dibagian lain, teori islam mengenai modal mengakui bahwa bagian modal dalam kekayaan nasional hanya sejauhmana sumbangan modal tersebut yang diukur berdasarkan persentase yang berubah-ubah dari laba pada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Selanjutnya menurut Mannan, tidak dapat disangkal lagi bahwa bungalah yang menumbuhkan kapitalisme berlebihan ditengah masyarakat. Bungan menimbulkan pengangguran, memperlambat proses pemulihan deresi ekonomi, menyebabkan masalah pelunasan utang dinegara-negara berkembang, dan yang tidak kalah pentingnya adalah merusak prinsip pokok kerja sama, saling membantu, dan menjadikan individualisme tumbuh subur ditengah masyarakat. Keempat. Islam memperkenankan laba biasa, bukan laba hasil monopoli apalagi spekulasi Kelima, pengakuan terhadap peran serta wanita, menurut Manan ini merupakan implementasi dari hokum waris dalam islam.
Terakhir Mannan mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok masyarakat saja melalui implementasi kewajiban yang dijustifikasi secara Islam dan distribusi yang dilakukan secara sukarela, Rumusan kebijakan tersebut adalah :
1. Pembayaran Zakat dan ‘Ushr (pengambilan dana pada tanah ‘Ushriyah yaitu tanah jazirah Arab dan negeri yang penduduknya memeluk Islam)
2. Pelarangan riba baik untuk konsumsi maupun produksi
3. Pemberian hak untuk sewa ekonomi murni (pendapatan yang diperoleh usaha khusus yang dilakukan oleh seseorang) bagi semua anggota masyarakat
4. Implementasi hukum waris untuk meyakinkan adanya transfer kekayaan antar generasi
5. Mendorong pemberian pinjaman lunak
6. Mencegah penggunaan sumberdaya yang dapat merugikan generasi mendatang
7. Mendorong pemberian Infaq dan shadaqah untuk fakir miskin
8. Mendorong organisasi koperasi asuransi
9. Mendorong berdirinya lembaga sosial yang memberikan santunan kepada masyarakat menengah ke bawah
10. Mendorong pemberian pinjaman aktifa produktif kepada yang membutuhkan
11. Tindakan-tindakan hukum untuk menjamin dipenuhinya tingkat hidup minimal (basic need)
12. Menetapkan kebijakan pajak selain zakat dan ‘Ushr untuk meyakinkan terciptanya keadilan sosial
F. Pandangan M.A. Manan Mengenai Kebijakan Fiskal dan Anggaran Belanja dalam Ekonomi Islam[9]
1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yang diuraikan oleh M.A. Mannan meliputi kebijakan pengeluaran, kebijakan pemasukan dan kebijakan pemasukan terhadap warga negara Non-Muslim. Sementara mengenai kebijakan anggaran yang coba di paparkan oleh Mannan meliputi anggaran Belanja Modern, Anggaran belanja defisit, dan Pembiayaan Defisit, serta pemasukan dalam negeri.
Menurut M.A. Mannan prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja betujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spritual yang sama. Dalam sistem perekonomian modern kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dapat dipengaruhi melalui pemberian insentif dan meniadakan insentif yang disediakan untuk meningkatkan pemasukan negara, tentunya melalui perpajakan, pinjaman dan sebagainya, tetapi di negara sekuler sistem perpajakan didasarkan kepada sosio-ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dalam islam sejauh itu tercapai dengan utuh tidak masalah, namun terkadang undang-undang yang diciptakan dapat mengahambat pencapaian itu, dan hanya memakmurkan sekelompok kecil masyarakat dan organisasi saja, untuk itu islam tidak dapat membenarkan hal ini terjadi.
Cara kebijakan fiskal diharapkan melaksanakan fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi, menurutnya dalam negara islam memiliki kekhususan sendiri yang muncul dari orientasi, dimensi etik dan sosial dalam pendapatan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal di negara islam menurutnya tidak lagi netral, dan diharapkan menjelaskan tidak hanya sebagaimana mestinya namun sebagaimana harusnya. Untuk itu menurut Mannan dalam suatu negara Islam proses mengalokasi penggunaan sumber daya, mendisribusikan pendapatan dan kekayaan, seharusnya memiliki manifestasi keprihatinan sosial dan moral yang jelas disamping kesejahteraan material yang merata.
Negara Islam seperti yang di ungkapkan oleh Mannan bukan suatu teokrasi, namun suatu negara ideologi yang berperan sebagai pelaksana mekanisme hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya (Al-Quran dan Sunnah). Karena itu kebijakan fiskal dalam ekonomi islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hukum islam, tujuan pokok hukum islam adalah mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan ummat manusia. Menurutnya, kesejahteraan ummat manusia dapat dicapai jika ekonomi islam tidak hanya berbicara mengenai kebijakan fiskal saja, namun juga harus konsisten terhadap nilai-nilai ketuhanan yang tercermin dalam sifat-sifat Allah seperti Maha Pemberi Rizki, Maha Pemurah, dan lain-lain sehingga kebijakan fiskal tidak memberatkan masyarakat.
Mannan memaparkan dimasa awal islam, walaupun seerhana namun terdapat sejumlah instrumen fiskal (Pajak), pada umunya adalah Zakat, Jizyah, Kharaj, Barang Rampasan perang (ghanimah), pajak pertambangan dan harta Karun, bea cukai dan pungutan-pungutan. Mennurutnya sistem pajak di awal islam itu bersifat elastis dan dinamis. Misalnya, harta yang dikenai zakat tidak dipertahankan secara kaku, Khalifah Umar pun melakukan sejumlah perubahan dalam sistem zakat karena zakat merupakan cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri.
a. Kebijakan Pengeluaran.
Pemikiran Mannan mengenai kebijakan pengeluaran dalam ekonomi islam didasarkan pada pemahamannya terhadap QS. Attaubah ayat 60, menurutnya Al-Quran telah menetapkan perintah-perintah yang sangat tepat mengenai kebijakan-kebijakan pengeluran pendapatan negara, kegiatan pengeluaran negara tidak diserahkan kepada kekuasaan dan kepala negara, tidak juga pada perundang-perundangan, tapi kepada kemaslahatan dan pembangunan kesejahteraan ummat. ayat ini menurut Mannan memberi implikasi yang sangat luas, seperti pemahaman terhadap beberapa kata-kata yang dilakukan Mannan terhadap ayat ini, antara lain kalimat Masakin memberi makna bahwa termasuk didalamnya seluruh mayarakat miskin yang menjadi warga suatu negara tanpa terkecuali termasuk non-muslim dan Khalifah Umar adalah orang yang pertama sekali mengutarakan pemahaman ini.
Menurut penulis mengenai pendapat Mannan ini adalah akan tidak adil jika pajak yang dibayarkan oleh non muslim boleh dinikmati kaum muslimin, sementara zakat tidak boleh mereka nikmati, sementara Negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang sama terhadap berbagai golongan dan kelas warga negaranya.
Jadi hal penting yang hendak dikemukakan Mannan dalam ayat ini adalah penggunaan zakat untuk membangun kesejahteraan masyarakat termasuk non-muslim adalah boleh-boleh saja, demikian juga dengan Istilah Fisabilillah “jalan Allah” memiliki pengertian yang sangat luas, mengeluarkan uang untuk meringankan penderitaan non muslim bisa saja dianggap sebagi pengeluaran di jalan Allah. Pemahaman lain yang coba diutarakan oleh Mannan dari ayat ini adalah kalimat Musafir, menurutnya zakat tidak hanya memveri penginapan dan makan cuma-cuma, tapi juga memperbaiki pariwisata seperti hotel, sarana transportasi, keamanan jalanan dan sebagainya.
Terlepas dari perintah yang tepat mengenai pengeluaran pendapatan Negara, Al-Quran juga telah menetapkan suatu kebijakan pengeluaran yang luas untuk distribusi kekayaan berimbang diantara berbagai lapisan masyarakat. Demikianlah sistem pengeluaran yang coba di utarakan oleh al-Quran yang mendorong pengeluaran bukan menimbun kekayaan dalam individu.
b. Kebijakan Pemasukan
Pada masa Nabi SAW, diantara sumber pemasukan utama negara adalah, zakat, sedekah. Zakat dan sedekah tidak hanya meliputi pajak pada uang tunai, tapi juga penerimaan tanah dan pajak pada binatang piaraan (biri-biri, kambing, unta dan lembu), termasuk pajak pada pertambangan (terutama emas dan perak), pada harta yang terpendam yang ditemukan dan sebagainya. Kebijakan pemasukan keuangan negara tersebut dilandaskan pada kebajikan dan memperhatikan orang-orang tidak berpunya.
Menurut Mannan, seharunya kegiatan negara yang menarik pengahasilan juga harus dikendalikan prinsip kebajikan dan pemeliharaan terhadap orang-orang yang kurang berpunya, tapi kebijakan pemasukan melalui perpajakan modern terutama penarikan pajak yang bersifat tidak langsung justru jatuh dan di pikul pundak orang-orang tak punya, karena kebanyakan pajak tak langsung pada ekonomi modern umumnya dibebankan kepada kebutuhan pokok hidup yang standar. Disinilah letak ketidaksetujuan Mannan pada sistem kebijakan perpajakan modern untuk itu ia menyarankan agar sistem perpajakan islam harus menjamin bahwa hanya golongan yang kaya dan makmur yang memikul beban utama perpajakan. Barangkali karena hal ini, maka pendapatan tidak dipajak berdasarkan sumbernya, tetapi pada tabungan dan penimbunan.
c. Kebijakan Pemasukan terhadap Non-Muslim.
Dalam sebuah negara muslim cenderung membedakan pemasukan antara muslim dan non muslim. Bila pemasukan Zakat dari kaum Muslimin dan dikeluarkan bagi kesejahteraan kaum Muslimin dan yang non-Muslim, maka dapat dipertimbangkan agar suatu negara dapat memungut suatu jumlah tertentu dari penghasilan kalangan non-Muslim. Mannan sepekat dengan sistem ini, namun ia sepakat jika disebuah negara Islam pemasukan seperti ini hanya digunakan untuk kesejahteraan kaum non-muslim yang ada disuatu negara Islam. Alasannya, zakat tidak bisa dengan pajak dinegara sekuler manapun, karena ide zakat bukan pemaksaan tapi idenya muncul dengan niat ibadah kepada Allah, sementara pajak muncul dan dibuat berdasarkan tingkah laku para pembuat kebijakan Negara.
2. Kebijakan Anggaran Negara
Anggaran negara merupakan suatu campuran yang rumit antara rencana pendapatan dan proyek yang harus dilaksanakan dimasa depan dengan tujuan rangkap meningkatkan dan memperbaiki pengelolaan kemasyarakatan dimasa depan maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi, pada masa awal Islam kebijakan anggaran tidak berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, karena itu tidak ada seruan untuk pertumbuhan ekonomi dalam arti pertumbuhan ekonomi moderen, tetapi menurut Mannan, terdapat perintah-perintah yang secara eksplisit, antara lain mengenai perintah bekerja dan berdagang. Menurut Mannan paradigma anggaran seperti ini harus dirobah kepada paradigma anggaran berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sehingga sebuah negara harus memakai konsep anggaran yang berimbang atau bahkan surplus, suatu anggaran dikatakan berimbang jika penerimaan negara lebih besar dari pengeluaran suatu negara, Anggaran menjadi surplus jika penerimaan negara lebih besar dari pengeluaran negara, jika sebaliknnya akan terjadi defisit.
Namun hal rumit menurut Mannan, jika terjadi defisit dalam anggaran negara. Dalam perekonomian modern defisit anggaran negara dapat diatasi dengan pinjaman luar negeri, penerbitan surat berharga negara dengan sistem bunga, tentunya dalam islam ini tidak dibenarkan, untuk itu apakah dalam suatu negara islam harus dihindarkan dari anggaran defisit?. Namun menurut Mannan, negara tidak harus menghindari defisit anggaran, defisit anggaran ini bisa diatasi dengan melakukan pembiayaan defisit dengan mekanisme Mudarabah, Musyarakah, dan Murabahah,. Menurutnya dengan sistem ini pembiayaan proyek disuatu negara di benarkan secara islam, dan proyek ini harus diatur berdasarkan pada pembagian laba secara proforsional sesuai dengan jumlah modal. Meskipun demikian menurut Mannan pemerintah dalam sebuah negara muslim harus merencanakan secara cermat anggaran negara yang dibutuhkan.
Dalam negara islam yang menjadi dasar kebijakan anggaran tidak lagi penerimaan negara, tetapi didasarkan pada pengeluaran. Hal ini berdasarkan pada persyaratan islam bahwa suatu negara harus menyediakan kebutuhan minimum bagi warganya, karena dengan metode ini negara dapat merencanakan sumber pendanaan negara dan instrumen terpenting adalah zakat, namun bila instrumen ini tidak mencukupi makan selelau terbuka kemungkinan-kemungkinan pendanaan lain, asal dilakukan dengan bijaksana, termasuk dengan instrumen pembiayaan proyek berdasarkan mekanisme Mudarabah, Musyarakah, dan Murabahah, juga masuk dalam sumber pendanaan adalah dengan menerbitkan sertifikat investasi untuk masyarakat berdasrkan bagi hasil.
Karena itu menurut Mannan, sistem anggaran islami berbeda dengan sistem yang berlaku dan dianut oleh negara-negara non muslim, baik dalam jiwa maupun dalam intinya, terutama karena dua sebab :
a. Sangat sedikitnya pengaruh suku bunga yang kejam dalam suatu sistem anggaran negara, khususnya sistem anggaran islami
b. Tujuan anggaran harus konsisten dengan perintah Al-Quran dan Sunnah. Rakyat tidak berada dalam kekuasaan para penguasa dan cendekiawan keuangan negara.
c. Fungsi anggaran yang direncanakan harus berorientasi pada kesejahteraan sosial.
G. Pemikiran M.A. Mannan Mengenai Zakat[10]
Zakat menurut Mannan adalah Poros dan pusat keuangan negara Islam, zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi. Dalam bidang moral, zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan sikaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat yang khas dalam memberantas kemiskinan dengan menyadarkan sikaya akan tanggungjawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan di tangan segellintir orang dan memungkinkan kekayaan disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya ditangan para pemiliknya. Disamping itu menurut Manan Zakat merupakan sumbangan wajib kaum muslimin ke kas perbendaharaan negara.
Lebih jauh Mannan mengatakan bahwa, Zakat tidak mempunyai konotasi jahat seperti pajak sekuler dewasa ini. Dalam Al-Quran setidaknya ada dua puluh ayat berbeda yang menyandingkan Zakat dengan Shalat, secara fundamental keduanya memiliki fungsi yang sangat penting, zakat akan kehilangan maknanya bila tidak timbul dari hati yang takwa dan perasaan bersih tanpa mementingkan diri sendiri, shalat tidak berarti jika tidak menyebabkan perasaan dan sikap tulus untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Adanya hubungan timbal balik yang dinamis diantara dua lembaga spritual dan duniawi dalam masyarakat islam ini adalah perlambang terdapatnya kesatuan batin antara agama dan ilmu ekonomi. Karena semangat moral di belakang lembaga Zakat diperoleh dari sumber spritual abadi shalat, maka akibat sosial dan ekonomisnya bermanfaat, dan mengakibatkan pola sosial yang timbul bebas dari kekejaman kapitalisme dan standarisasi komunisme yang memaksa.
Keselarasan sosial yang menyerap segala hal inilah yang membuat H.G. Wells mengatakan dalam The Outline of Historisnya, Islam telah menciptakan masyarakat yang terbebas dari kekejaman dan penindasan sosial yang meluas, bila dibandingkan dengan masyarakat manapun yang pernah terdapat didunia.
Disamping itu menurut Mannan, terdapat enam prinsip syariat yang mengatur mengenai Zakat, ke enam prinsip itu antara lain :
1. Prinsip Keyakinan, prinsip ini menjadi sumber inspirasi pertama dalam pelaksanaan zakat, karena dalam islam zakat merupakan ibadat, dengan demikian hanya seorang yang berimanlah yang dapat melaksanakannya dalam arti jiwa yang sesungguhnya.
2. Prinsip keadilan, prinsip ini tercermin dalam sabda Nabi SAW, “Bagi hasil Tanah yang di airi oleh hujan dan mata air, atau yang di airi oleh mata air yang mengalir pada permukaan bumi ditentukan zakatnya spersepuluh dari hasilnya, sedangkan bagi yan di airi oleh sumur, seperduapuluh dari hasilnya (HR. Bukhari), berdasarkan hadist ini Mannan berpendapat bahwa prinsip keadilan menyatakan jika makin berkurang jumlah pekerjaan dan modal, semakin berkurang pula tingkat pungutan.
3. Prinsip produktifitas atau sampai pada waktunya. Dalam prinsip ini Mannan kelihatannya sangat terinspirasi pada kebijakan perpajakan khalifah Umar ibn Khattab yang mengataka “siapa yang memperoleh kekayaan setelah satu tahun, berlaku zakat atasnya” menurutnya zakat dibayarkan pada setiap tahun setelah memperhatikan Nisab, Nisab berarti surplus minimum dari nilai ril harta benda yang sama nilainya diatas pengeluaran yang diperlukan. Nisab berlaku pada zakat jika telah sampai waktunya dan produktif.
4. Prinsip nalar, yaitu orang yang diharuskan membayar zakat adalah seorang yang berakal dan bertanggung jawab, menurut Mannan ini menunjukkan bahwa harta yang wajib zakat adalah harta orang yang bertanggungjawab.
5. Prinsip kemudahan, prinsip ini tergambar dari kewajiban membayar zakat di akhir tahun.
6. Prinsip kemerdekaan, hal ini tergambar dari prasyarat seorang pembayar zakat harus orang yang merdeka.
Salah satu pikiran Mannan yang sangat penting adalah mengenai jenis dan dasar pemungutan zakat, dimasa modern ini menurutnya, golongan harta benda yang ditetapkan dapat dikenakan zakat harus dikaji ulang, jangan hanya mempertahankan pengenaan zakat pada awal islam, hal ini didasarkan pada bermacamnya sumber pendapatan masyarakat, untuk itu ia menyarankan dan telah disepakati dalam pertemuan para pakar fiqh modern di Damaskus tahun 1962, bahwa zakat harus dikeluarkan untuk segala jenis penghasilan dan harta benda yang tidak diketahui di awal masa Islam. Benda-benda itu antara lain seperti mesin industry, uang kertas, laba profesi, dan segala jenis perdagangan yang dihalalkan.
Lebih lanjut mengatakan dalam penetapan tarif dan jenis penghasilan yang harus dikenakan zakat, Negara islam dapat menggunakan suatu unsur dinamisme, dimana seluruh penghasilan yang diperoleh dari berbagai profesi harus dikenakan zakat, meskipun di awal islam hal itu tidak dikenal. Menurut penulis Mannan telah meletakkan dasar ijtihad penting mengenai zakat dari berbagai profesi zaman modern, akhirnya kita jadi yakin bahwa yang lebih berkewajiban membayar zakat adalah mereka yang memiliki penghasilan besar meskipun tidak dari usaha yang dikenal di awal islam seperti pertanian.
H. Pemikiran Mannan Perencanaan Pembangunan Ekonomi dalam Islam.[11]
Menurut Mannan, Islam mengakui Kosep perencanaan modern yang mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada dalam Negara untuk mencapai tujuan tertentu, dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat dan nilai kehidupan yang berubah-ubah. Dalam arti yang lebih luas, perencanaan menyangkut persiapan menyusun setiap kegiatan ekonomi. Dalam islam, perencanaan pembangunan ekonomi tidak lain dari suatu sintesis perencanaan dengan dorongan pimpinan. Beberapa ketentuan Al-quran dan hadist mengenai hal itu. Kerja sama antara sektor pemerintah dan swasta adalah dasar perencanaan ekonomi salam islam. Tujuan perencanaan ekonomi dalam islam tergantung kebutuhan masyarakat, dan dapat diubah menurut perubahan kebutuhan masyarakat namun harus tetap berpegangan pada ketentuan pembangunan ekonomi berdasarka Al-quran dan Sunnah.
Kebaikan tujuan dari sebuah perencanaan ekonomi dapat dinilai dari prinsip kesejahteraan si miskin. Hal ini dapat dilihat dari semua isyarat-isyarat hukum Allah yang kesemuaannya dibuat untuk keseimbangan-keseimbangan dan kesejateraan makhluknya, bila bertentangan dengan hak tersebut atau ada yang dirugikan maka kebijakan ekonomi tersebut harus dikaji ulang. Karena mendahulukan menghilangkan penderitaan diutamakan dari memperoleh manfaat. Jika tidak dapat dielakkan, maka harus dipilih yang paling ringan akibatnya. Yang jelas harus mencerminkan kemaha pengasihan Allah.
Menurut Mannan, pelaksanaan perencanaan ekonomi dalam islam harus dilakukan oleh sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan yang dilaksanakan melalui prinsip Mudharabah. Oleh karena itulah menurut Mannan, dalam perencanaan islami kemungkinan rugi akan sangat kecil, demikian pula kemungkinan defresi akan jauh lebih sedikit.
Selanjutnya dalam perencanaan ekonomi, Menurut Mannan memiliki dua sumber utama yaitu, sumber dari dalam negeri dan lainnya adalah bantuan luar negeri. Sumber keungan dalam negeri dapat berupa : tabungan masyarakat dan tabungan pemerintah. Sedangkan sumber luar negeri adalah kebijakan suatu negara dalam rangka menutupi defisit anggaran. Namun dalam islam, pembiayaan defisit harus dilakukan dengan sistem kemitraan, mitra dalam perdagangan, mitra dalam isdustri, dan mitra dalam rencana pembangunan. Menurut Mannan alah satu perbedaan fundamental antara perencanaan ekonomi islam dengan perencanaan modern adalah tidak di izinkannya sistem bunga, karena bunga dalam prinsip perencanaan ekonomi islam dianggap dapat merusak sistem produksi, menghilangkan kesempatan kerja, merusak keadilan sosial. Untuk itu dalam islam, kebijakan defisit anggaran harus berdasarkan kemitraan (Musyarakah )
Sementara untuk pembangunan ekonomi, Mannan lebih sepakat bahwa negara harus memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada, dalam pemanfaatannya menurut Mannan harus melibatkan seluruh komponen masyarakat, sehingga masyarakat dapat di berdayakan dengan maksimal.
Demikianlah makalah ini disusun secara sederhana, meskipun pemikiran Mannan belum seluruhnya dapat terangkum secara sempurna, namun setidaknya dapat menggambarkan modernisasi pemikiran ekonomi.
BAB III
PENUTUP
Belum semua pemikiran-pemikiran M.A. Mannan tertuang dalam makalah ini, namun setidaknya apa yang telah penulis paparkan sedikit menggambarkan tentang pola pikir ekonomi M.A. Mannan, Mannan telah menawarkan pemikirannya mengenai ekonomi islam dan dapat penulis simpulkan bahwa pengembangan ekonomi ia menawarkan langkah-langkah yang cukup sistematis dan realistis, semua metode operasionalnya ia peroleh dan kembangkan dari sumber-sumber hukum Islam.
Dalam masalah konsumsi, produksi, dan distribusi telah di jelaskan Mannan dengan baik, pendapatnya masih memiliki beberapa kesesuain dengan ekonomi modern, antara lain bahwa kegiatan utama ekonomi adalah yang tersebut di atas, namun dalam hal faktor produksi ada beberapa perbedaan dengan para ahli ekonom modern.
Selanjutnya beliau juga membahas mengenai kebijakan fiskal dan anggaran dalam ekonomi islam, dan terdapat beberapa konsep penting dalm pengembangan kebijakan ekonomi dalam ekonomi islam. Begitu pula dengan pemahaman nya mengenai zakat, Mannan juga telah memaparkan dengan baik pandangannya mengenai zakat. Terakhir tentang perencanaan ekonomi dan pembangunan ekonomi telah memberikan gambaran penting bagi kita. Mudah-mudahan makalah ini memberi manfaat maksimal.
KEPUSTAKAAN
Al-Quran al-Karim, Jakarta , Penerbit Syamil Media, Tahun 2004
M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terjemahan. M. Nastangin. Yogyakarta. PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997.
Muhammad Aslam Haneef. Contemporary Islamic Economic Thought, A Selected Comparative Analysis.Kuala Lumpur. Ikraq. 1995.
www.google.co.id.



[1] Muhammad Aslam Haneef. Contemporary Islamic Economic Thought, A Selected Comparative Analysis.Kuala Lumpur. Ikraq. 1995.h.13-14
[2] M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terjemahan. M. Nastangin. Yogyakarta. PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997. Hal.3-25.
[3] Ibid Hal. 43-51
[4] 168) يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة 172)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ (المائده 4)
[5] الاعراف 31))وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ(المائده 87)
[6] M.A Mannan. Op.cit. hal. 53-103
[7] وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
[8] M. A. Mannan, op.cit. hal. 111-145
[9] Ibid. hal. 228-242
[10] Ibid. hal.256-269
[11] Ibid. Hal. 367-394